Oleh : Ustadz Sholih Hasyim
Anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”(QS. Saba : 15).
Merujuk tafsir Jalalain, tafsir ayat tersebut: (Sesungguhnya bagi kaum Saba) lafal Saba dapat dibaca dengan memakai harakat tanwin pada akhirnya atau bisa juga tidak.
Saba adalah nama suatu kabilah bangsa Arab yang diambil dari nenek moyang mereka (di tempat kediaman mereka) di negeri Yaman (ada tanda) yang menunjukkan akan kekuasaan Allah SWT (yaitu dua buah kebun). Lafal ‘jannataani’ ini menjadi badal dari lafal aayatun (di sebelah kanan dan di sebelah kiri) lembah tempat mereka tinggal.
Dan dikatakan kepada mereka, (“Makanlah oleh kalian dari rezeki Rabb kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya”) atas apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada kalian berupa nikmat-nikmat yang ada di negeri Saba.
(Negeri kalian, adalah negeri yang baik) tidak ada tanah yang tandus, tidak ada nyamuk, tidak ada lalat, tidak ada lalat pengisap darah, tidak ada kalajengking dan tidak ada ular.
Seandainya ada orang asing lewat ke negeri itu dan pada bajunya terdapat kutu, maka kutu itu otomatis akan mati karena harum dan bersihnya udara negeri Saba. (Dan) Allah (Rabb Yang Maha Pengampun.).
Negeri Saba termasuk negeri yang bersejarah. Dikepalai oleh seorang wanita yang terkenal adil, Ratu Balqis. Negeri tersebut dijadikan nama surat Al Quran.
Kemakmuran negeri Saba digambarkan oleh Al Quran, yang dijadikan impian pendiri negeri kita, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri makmur, mendapatkan ampunan Rabb yang Maha Pengampun).
Imam Qatadah menceritakan betapa makmur negeri Saba dan alangkah sejahtera penduduknya. Jika seorang wanita keluar untuk membuang hajat dan membawa keranjang di atas kepala, maka ketika kembali keranjangnya dipenuhi buah-buahan yang bermacam-macam.
Kemakmuran negeri disebabkan oleh pusaka nenek moyang berupa bendungan monumental, Ma’rib. Bendungan itulah yang mengairi sawah, ladang dan pemukiman warga. Itulah yang menjadikan tanah mereka subur.
Berkat kesuburan tanah, penduduk Saba hidup serba kecukupan. Mereka bisa tidur nyenyak, sandang dan pakaian yang cukup, tidak kekurangan makanan. Bahkan cuacanya sejuk, sehingga tidak ada kutu, kecoa, ulat, nyamuk, dan binatang kecil lainnya.
Kondisi alam itulah yang memanjakan kehidupan mereka. Mereka makan sedia selalu. Sehingga mereka bosan dengan menu yang bervariasi itu sebagaimana umat nabi Musa yang bosan dengan menu manna dan salwa yang menempel di bebatuan di Padang Sahara Tih selama 40 tahun.
Ketika utusan Allah SWT diutus untuk memperingatkan kaum Saba untuk bersyukur atas karunia yang diberikan oleh-Nya dan menjaga warisan nenek moyang mereka, tetapi mereka enggan dan tidak menghiraukannya.
Bahkan, elite negeri bekerjasama dengan pengusaha untuk melubangi bendungan Ma’rib untuk mengairi proyek perumahan mereka. Sehingga, tempat resapan air hilang, dan terjadilah erosi.
Pada akhirnya bendungan tersebut jebol dan terjadilah banjir besar (sailal ‘arimi). Berubalah tanah yang subur menjadi gersang. Hanya tumbuh pohon cemara dan bidara. Sehingga kehancuran negeri Saba menjadi buah bibir bangsa Arab yang menggambar negeri yang semula makmur menjadi porak poranda, dengan mengatakan, tafarraquu bi aydi Saba (mereka becerai-berai bagaikan tangan-tangan Saba).
Allah SWT berfirman pada Surat Saba’: 16
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.