Standardisasi, Sentralisasi & Integrasi Menuju Sukses Program Mainstream
oleh : Sholih Hasyim, S.Sos.I
Jika kita memotret ulang perjalanan kita di lembaga ini, sesungguhnya kita telah mengawalinya dengan cara yang benar. Kita hadir di sini bukan untuk memenuhi ambisi orang kaya, pejabat, pemangku kepentingan asing dan domestik, dan mengikuti pangsa pasar. Kita hadir disini untuk berhijrah menuju Allah Subhanahu Wata’ala (SWT), baik secara makani (territorial) dan ma’nawi (moral). Inni muhajirun ila Rabbi. Kita berlari menuju Allah SWT. Fafirru ilallah.
Sungguh, kita telah melakukan pengorbanan yang terbaik, yaitu memboyong keluarga untuk berhijrah pada usia relatif muda. Meninggalkan kampung halaman yang tercinta. Berhijrah identik dengan “membunuh” diri sendiri.
Sekiranya Kami perintahkan kepada Bani Israil: Bunuhlah diri kalian atau tinggalkan kampung kalian. Pasti hanya sedikit sekali yang mau melakukannya. Sekiranya Bani Israil mau melakukan apa yang Allah perintahkan kepada mereka, maka hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan iman mereka (QS. An Nisa (4) : 66).
Perjuangan berikutnya yang tidak mudah dan tidak sederhana adalah memelihara motivasi perjuangan kita dari hal-hal yang membatalkannya (muhbithul ‘amal). Dalam Islam, keikhlasan dan kesabaran selalu diberi titik tekan pada awal, tengah, dan akhir perjuangan. Memang berat mewujudkan amal, dan yang paling berat lagi adalah memelihara kualitas amal.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
َوَقِدۡمَنآإِلَٰى َما َعِملُواْ ِمۡن َعَمٍل َفَجَعۡلَٰنُه َهَبآًء َّمنُثوًرا
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan 25: Ayat 23).
Sebagaimana pengalaman Umar bin Khathab ketika membuka pintu gerbang Baitul Maqdis pasca pembebasannya oleh mujahid yang dipimpin Amru bin ‘Ash. Sebelum gembok dibuka dari tangan pendeta, khalifah II ini menatap dengan tajam pemimpin Nasrani tersebut. Dalam batin Umar, pendeta ini telah menghabiskan umurnya hingga beruban untuk mengabdi, tapi sayang perjuangannya hanya membuat lubang kehancurannya sendiri, karena tidak didasari oleh iman. Umar membaca firman Allah SWT surat Al Ghosyiyah (88) : 3-7).
Bukan Ikatan Transaksional
Yang perlu digarisbawahi disini bahwa interaksi awal kita dengan Hidayatullah adalah transaksi yang bersifat manhaji. Bukan interaksi yang bersifat pragmatis dan transaksional. Manhaj secara lughowi adalah ath Thoriqul wadhih (jalan yang terang). Al Haqiqatul Muthlaqah (kebenaran yang bersifat mutlak). Manhaj adalah memadukan titik berangkat dan titik finish. Sebagaimana ditulis dalam kitab Al Hikam :
من علامة ال َّنجا ِح في النهاية الوصول الى الله في البداية
Diantara parameter keberhasilan sampai di garis finish adalah sudah terkoneksikan dengan Allah di garis start..
Ada ungkapan seorang ahli harakah : “Barangsiapa yang lurus memulainya akan lurus pula ujungnya dan barangsiapa yang rusak di garis starnya akan rusak pula di garis finish hanyalah munculnya keluhan-keluhan (keberatan) merupakan indikasi rusaknya di awal”.
Sistem Imamah Yang Fungsional
Istilah imamah dalam Islam sepatutnya melukiskan fungsi strategis yang diembannya. Imam identik dengan amam (berada di depan). Yakni memiliki kualifikasi layak diteladani. Umm (induk), siap dijadikan referensi dalam idealisme, ilmu, moralitas, dan amal. Ummat (bagian dari yang dipimpin), mencintai yang dipimpin. Al Qiyadah wal jundiyah, al Imamah wal ummah kaljasadil wahid (memiliki spirit yang sama).
Berikutnya, berfungsi sebagai ra’in (penggembala). Jelas, kualitas kepemimpinan itu diukur dari responbilitas terhadap yang dipimpin dan mutu pelayanannya (katsratur ri’ayah), banyak mendengar (katsratul istima’), tidak sekedar katsratur riwayah (banyak berorasi). Umar mengatakan: Sayyidul qaumi khadimuhum (tuan sebuah kaum adalah yang pandai melayani mereka), bukan mengkhianati mereka (khadi’uhum).
Tidak kalah urgensinya adalah fungsi imam adalah imaraoh (tegas dalam prinsip). Dengan ketegasan ini komando imam akan tajam. Ia telah membangun di benak dan persepsi publik bahwa semuanya sama di hadapan hukum. Yang melukai rasa keadilan saat ini adalah penerapan hukum bagaikan pisau. Tumpul untuk level qiyadah dan tajam untuk kalangan grassroot. UUD (ujung-ujungnya dhuwit). Marajiknya kitab KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Tujuan utamanya adalah bisnis (bisikan manis). Jika para pemimpin mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka memilih hukum yang tidak diturunkan oleh Allah maka akan terjadi permusuhan (benturan kepentingan) di antara mereka (al Hadits).
Kemudian, waliyyul amr atau trampil mengurus bawahannya. Pemimpin yang kita pilih adalah yang dapat menata ulang kehidupan keseharian kita. Ia merupakan photo copy dari diri kita. Ada sebuah istilah, ar ra’iyyatu ‘ala dini mulkihi (moralitas rakyat turunan dari keagamaan rajanya). Kepemimpian yang lahir dari keshalihan kepribadian kita. Jika kita tidak berlomba-lomba dalam ishlahun nafsi, maka akan lahir pemimpin yang jelek, bahkan menindas kita. Komitmen kita terhadap tarbiyatun nafsi adalah modal untuk melahirkan pemimpin. “Dan demikianlah Kami jadikan pemimpin sebagian orang-orang yang zhalim menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” (QS. Al Anam (6) : 129).
Sebagai aktifis harakah Hidayatullah, proses pemahaman terhadap manhaj harus ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk penugasan, kesiapan memimpin dan dipimpin. Jangan dibalik, siap memimpin tidak siap dipimpin. Bila dalam proses kepemimpinan terjadi gesekan antara senior dan yunior, itu semua dipahami sebagai proses pematangan dan pendewasaan. Jika tidak pernah merasakannya, ia akan kehilangan kekayaan hidup berimamah.
Proses Regenerasi
Pengkaderan, inilah yang menjadi kerisauan kita belakangan ini. Dan menjadi keprihatinan pula para pendahulu kita yang shalih (salafus shalih). Karena, jika program ini tidak berjalan, kita bisa punah.
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (pelanjutku) sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugrahilah aku dari sisi Engkau seorang putra” (QS. Maryam (19) : 5).
Kaderisasi merupakan langkah untuk menjaga keberlangsungan sebuah misi. Kader adalah seseorang yang disiapkan sedemikian rupa (baca: bukan secara natural), untuk mengisi tugas penting kepemimpinan dalam keluarga, intitusi, partai, dan Negara. Dalam perjuangan klasik dan kontemporer, kepemimpinan adalah perpaduan antara dua potensi, kearifan generasi tua (samahatusy syuyukh) dan semangat generasi muda (hamasatusy syabab).
Pengkaderan adalah upaya keras untuk membentuk tim inti dalam tubuh umat. Menghidupkan nyawa/ ruh pada jasad umat. Ketika kader menjadikan manhaj nubuwah sebagai sumber energi dan stamina, sekaligus landasan moral, maka dalam bergerak tidak tanggung-tanggung. Orang spirit wahyunya kuat, insya Allah, dengan restu-Nya akan berhasil. Karena, wahyu itu membangun spirit dan moral. Ditambah keilmuan sedikit saja, sudah kencang.
Manhaj Transformatif
Jika merujuk kepada spirit tahapan turunnya wahyu, maka aktifis Hidayatullah akan menanjak. Karena setiap urutan di samping satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (sistematis), pula komitmen (keterikatan yang kuat) menuju progresifitas (linutsabbita bihi fu- adak).
Iman naik, moralitas tinggi. Dunia di dalam genggamannya. Dunia menjadi kecil di hadapannya. Ketika iman turun, dunia dipandang besar. Sosok yang tidak terikat dengan dunia, diantaranya ada Ibnu Taimiyah yang terkenal ungkapannya: “Jika aku dipenjara, kesempatan untuk kontemplasi, jika diasingkan aku rihlah, jika dibunuh, aku meraih syahadah”.
Ketaatan kepada kepemimpinan adalah moralitas yang tinggi. Karena kita berinteraksi dengannya atas dasar prinsip (manhaj). Bukan sekedar berkumpul dan bergabung (majmu’ah). Prinsip adalah landasan berpikir dan bergerak, asas memilah-milah, memilih, mengurai, dan memutus problem yang menyertainya.
Sami’na wa ‘atha’na, berani berkorban untuk ditugaskan sebagaimana sikap legowo (ridha) Khalid bin Walid atas SK penurunan jabatannya sebagai panglima perang oleh Khalifah Umar bin Khathab. Inilah moralitas yang tinggi.
Menuju Standarisasi Hidayatullah
Saat ini Hidayatullah dalam proses transisi. Kita akan menuju Visi 2020, yaitu Hidayatullah Berjamaah dan Bersyariat. Karena, konsekwensi bertauhid adalah berjamaah bersyariah. Di organisasi sudah ditentukan standarnya (alat ukur). Standar moral, standar spiritual, standar keilmuan, dan standar profesionalisme. SDM yang baik adalah akan melahirkan kesejahteraan. Bukan makna SDM yang mengalami reduksi, SDM (selamatkan diri masing-masing).
Tauhid mewajibkan wujudnya iman, barangsiapa yang tidak beriman, maka dia tidak bertauhid. Dan, iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa tidak ada syariat padanya, maka dia tidak beriman dan bertauhid. Serta, syariat mewajibkan adanya akhlak, maka barangsiapa yang tidak beradab, maka (hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid adanya (Hasyim Asyari, Adabul ‘Ilmi Wal Muta’allim Jombang Maktabah At Turats Al Islami, 1415, hal. 11).
Jadi, Visi 2020 dibingkai oleh logika syariat. Tauhid, iman, syariat, akhlak, merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan. Jika salah satunya mengalami disfungsi (mandul), maka unsur yang lain akan tercerabut.
Iman identik dengan kejayaan, kemenangan. Ketika iman terjangkiti virus, sejak itu menyediakan diri untuk dijajah (qabiliyyah littaghallub), meminjam istilah Abul Hasan Ali An Nadwi.
Kita optimis, jika transmisi dan transformasi manhaj berjalan secara efektif, dan mesin pengkaderan terus bekerja, maka kehadiran sumber daya Qur’ani, yang meniupkan ruh di tubuh umat yang sudah jatuh tertimpa tangga ini, tinggal menunggu hitungan waktu, atas restu Allah. Insya Allah.
*) Disampaikan oleh Ketua Badan Pembina Yayasan Al Aqsho, Pesantren Hidayatullah Kudus dalam agenda Rapat Kerja Yayasan Al Aqsho 2024 (20/1/24)